Cinta Ciyantie
By Apriyanti Larenta
Ciyantie,
si gadis cantik berusia duapuluh lima tahun itu memejamkan mata di atas
pembaringan. Rasa pedas menggigit kedua matanya, letih namun
tak ingin terpejam. Gadis itu hanya mampu menggerakkan tubuh rampingnya ke kanan
dan ke kiri. Kegelisahan menekan sanubarinya. Kerinduan mencekam merambati
hatinya. Tapi apalah dayanya, jika kekasih yang dirindu adalah Rangga, suami Andarie
sahabat karibnya. Andarie, sahabat sejati dalam suka duka hidupnya. Sosok yang
telah dianggap bagai kakak kandungnya sendiri.Bayangkan!
Ciyantie
membenamkan kepala di balik selimut, seakan hendak membelai hatinya dengan
kelembutan selimut yang menutupi tubuhnya. Ya! Hatinya yang terluka oleh rindu
mendalam pada Rangga perlu belaian. Setidaknya, belaian lembut selembar selimut.
Hatinya mendesah perih. Seketika pikirannya menyajikan wajah tampan Rangga.
Sinar mata itu! Ah, betapa teduhnya. Taman hati Ciyantie yang penuh taburan
wajah Rangga berdesir sendu. Kepak sayap hatinya terasa lemah. Ia bagai burung kecil yang tak berdaya.
Ciyantie
membalikkan kembali tubuhnya di atas pembaringan. Kembali resah. Sungguh, ia
membenci sendiri dirinya yang lemah, yang tak mampu mematikan bunga cinta di dadanya. Malah sebaliknya, bunga
terlarang itu kian menemukan ladang
subur di hatinya. Sungguh tak pantas. Benar-benar
bunga cinta pembawa petaka. Betapa tidak? Persahabatannya dengan Andari tentu
saja
tak mengizinkan bunga terlarang itu bersemi subur di pelataran jiwanya. Ia sendiri mengutuki bunga hitam itu. Tapi cinta memang serat bunga yang tak dapat dilihat kemana jatuhnya. Ia terjatuh sesuka angin yang menghembusnya. Terkadang jatuh di ladang hati tak terduga. Jika itu terjadi, manusia takkan berdaya menentangnya. Juga Ciyantie. Namun ia hanya merahasiakan dan menahan cintanya. Sekuat jiwa hatinya. Selalu mencoba bersikap biasa terhadap sepasang suami istri itu. Seolah Cinta yang bersemi untuk Rangga tak pernah ada di lumbung hatinya. Bertahun ia berhasil memendamnya. Kini?
Penyesalan meremuk hati Ciyantie mengingat adegan sebulan lalu itu. Disentakkannya selimut yang membalut tubuhnya hingga terjatuh ke lantai. Resah membuatnya tak peduli akan hal itu.
tak mengizinkan bunga terlarang itu bersemi subur di pelataran jiwanya. Ia sendiri mengutuki bunga hitam itu. Tapi cinta memang serat bunga yang tak dapat dilihat kemana jatuhnya. Ia terjatuh sesuka angin yang menghembusnya. Terkadang jatuh di ladang hati tak terduga. Jika itu terjadi, manusia takkan berdaya menentangnya. Juga Ciyantie. Namun ia hanya merahasiakan dan menahan cintanya. Sekuat jiwa hatinya. Selalu mencoba bersikap biasa terhadap sepasang suami istri itu. Seolah Cinta yang bersemi untuk Rangga tak pernah ada di lumbung hatinya. Bertahun ia berhasil memendamnya. Kini?
Penyesalan meremuk hati Ciyantie mengingat adegan sebulan lalu itu. Disentakkannya selimut yang membalut tubuhnya hingga terjatuh ke lantai. Resah membuatnya tak peduli akan hal itu.
“Ahh, andai
aku menolak ajakkan Rangga malam itu”, rintih hatinya dalam kebisuan malam.
Mungkin kejadian itu takkan pernah terjadi.Ya
Tuhan! Ciyantie mengigit bibir bawahnya. Lagi dan lagi muncul kebenciannya pada kejadian itu…
Malam itu usai kantor, Ciyantie tengah berdiri
mematung di tepi jalan sepi menunggu taxi, saat sebuah sedan hitam menepi di
hadapannya. Pintu depan mobil itu langsung terbuka diiringi dengan sembulan
wajah akrab yang begitu dikenalnya. Rangga! Kala itu Ciyantie membelalakkan
mata. Hatinya terlunjak. Rasa senangnya membuncah.
“Hallo, tie…!”, sapa Rangga.
“Hei…kamu!”, balas Ciyantie sambil menghampiri
lelaki yang dikenalnya baik.
“Lagi nunggu taxi, tie?”, tanya Rangga. Dengan
cepat gadis itu mengangguk.
“Mau aku anter, nggak?“
„Tentu dong, mau. Masak sih tolak rejeki nomplok ?”, sahut Ciyantie
riang sambil kaki jenjangnya menaikki sedan hitam itu. Lumayan, aku bisa hemat ongkos taxi, pikirnya
malam itu tanpa prasangka.
Ya, Tuhan! Pekik hati Ciyantie masih
diatas pembaringan. Lagi-lagi penyesalan menggapai hatinya, bila ia mengingat
kembali peristiwa itu. Menyesal mengapa ia mau menuruti ajakkan Rangga. Dan Andai ia menolak untuk makan dulu di
restoran itu, dirinya takkan keluar dari mobil untuk kemudian tergelincir di jalan. Ya, Ciyantie dengan higheelsnya terpeleset, saat melangkah
masuk ke sebuah restoran. Rangga
yang berjalan di sampingnya meraih cepat tubuh olengnya yang hampir terjatuh.
Refleks, lengan kukuh Rangga merengkuh pinggang ramping Ciyantie. Awalnya gadis
itu merasa beruntung, dan berpikir, andai Rangga tak ada disampingnya, pasti ia
akan terjerembab tanpa ampun dengan muka ke asphalt. Mungkin itu akan merusak
kecantikan wajahnya. Jadi, Ciyantie berkicau lirih di hati“Lelaki itu telah
menyelamatkanku…!”
Dan
malam itu dalam pelukkan sang penyelamat Ciyantie merasakan kehangatan indah
mengaliri tubuhnya. Ciyantie juga dapat merasakan aliran hangat mengalir deras
di dada Rangga. Ia terperanjat sesaat, saat menyadari betapa indahnya dalam
pelukkan itu. Dan tampaknya Rangga pun tak ingin melepaskan Ciyantie. Ia terus
memeluknya. Dan sialnya, Ciyantie tak ingin pula melepas
pelukkan itu. Detik berlalu. Tatap mata Rangga yang berubah sendu memompa deburan hebat di
jantungnya. Rangga kian mendekatkan wajahnya ke wajah Ciyantie. Perlahan. Tanpa
kata. Rangga mencium Ciyantie. Gadis itu segera memejamkan mata, ingin
menikmati sentuhan lembut bibir lelaki yang sebenarnya selalu dirindu. Namun
wajah Andarie segera muncul dalam gelap pejam mata Ciyantie. Gadis itu langsung
tersadar. Masya Allah! Ia telah khilaf! Ia telah menghianati kepercayaan
Andarie.
Seakan
tersadar dari impian buruk, Ciyantie segera menghempaskan rangkulan Rangga. “Aku
langsung pulang aja deh, mas Rangga. Sorry, aku lupa, kalo aku masih punya
urusan kantor yang harus kuselesaikan di rumah.” Ucap Ciyantie halus tergagap sambil cepat melepaskan pelukkan Rangga. Tersipu Rangga melepaskan pelukkannya. Segera
ia memalingkan wajah rona merahnya ke samping. Menatap kosong jalanan. Penyesalanpun,
sepertinya terburat dari wajah tampan itu.
„Oke, aku antar kamu pulang…!“
Setelah momen tak terduga itu, siksaan hati terus mencambuki dinding
jiwa Ciyantie. Hari berlalu. Rasa aneh selalu menjalari jiwa raganya kalau
berjumpa Andarie.
Wanita cantik yang tidak mengetahui apa yang terjadi antara diri
dan suaminya, tetap menyayanginya bagai adik kandung. Rasa salah pun kian terukir
kuat di relung hati Ciyantie. Apalagi bila pandang matanya berlabuh di atas
perut buncit Andarie yang tengah hamil tua. Dan Rangga? Bersikap seperti biasa.
Seakan tak terjadi suatu apapun di antara mereka, hingga malam itu, seminggu
yang lalu ia mengatakan cintanya.
“Benar Tie, sebetulnya aku telah lama memendam
cinta kepadamu. Tapi aku tak pernah mau mengakuinya. Karena aku tahu, bahwa
kamu sahabat baik Andarie. Dan aku tahu, bahwasanya kamu tidak akan
mungkin mengecewakan istriku, sahabatmu yang bagai saudara kandungmu
sendiri. Tapi perasaan ini sepertinya sering menyiksaku, Tie! Sering aku tak
berdaya karenanya, bila aku merindukanmu…..” Pahit pilu suara Rangga.
Saat
mendengar kata-kata Rangga seminggu lalu itu, ingin rasanya Ciyantie memeluk erat
Rangga. Sebab, demikian pula halnya dengan Ciyantie. Kala rindu akan Rangga
menerpa dinding tipis hatinya, tangislah yang hanya mampu dilakukannya. Dan
perasaan tak berdaya selalu melecut dinding hatinya. Namun ia tak mampu melakukannya.
Merengkuh erat Rangga ke pelukannya? No Way! Malah Ciyantie merasakan risih
yang begitu hebatnya, saat menatap sepasang mata Rangga yang mengharap
cintanya. Ciyantie jadi terpaku. Kenyataan yang sebenarnya manis, namun pahit
itu terasa tajam merejam hatinya. Karena tak diduga, Rangga pun dalam mencintainya.
Ia tak pernah menduga, bahwa Rangga memiliki nuansa hati yang sama seperti hatinya. Nuansa merah mawar cinta yang tertancap kuat di dinding jiwa. Tapi...? Cinta yang hanya sekeping noda!
Dan
sejujurnya, bukanlah desir cinta yang membuat Ciyantie detik itu membisu, tapi bayang
wajah Andarie yang tengah berbaring sakit sehabis melahirkan. Ciyantie
benar-benar terus terpaku. Hanya bola matanya saja yang masih mampu menatap
kerikil batu di halaman Rumah Sakit yang tengah merawat Andarie. Ia baru saja
menjenguk Andarie. Dan dengan dalih ingin mengantar Ciyantie sampai ke pelataran
parkir Rangga menggunakan kesempatan itu untuk menyatakan cintanya. Karena selama
ini, sejak kejadian ciuman sekejap itu, Ciyantie selalu menghindari Rangga.
Seminggu
Andarie dirawat di Rumah Sakit, karena pendarahan yang dialaminya setelah
persalinannya. Dan seminggu pula Rangga berusaha mendekati dirinya. Bahkan berkali-kali
mengutarakan cintanya. Sementara Andarie begitu memercayainya sebagai seorang
sahabat sejati.
Tentu
saja, Ciyantie ialah benar seorang sahabat sejati. Saat mengetahui gejolak riak
hati Rangga terhadapnya, mudah saja ia merebut lelaki itu ke pelukannya. Namun,
itu adalah khianat yang tak mungkin disembilukannya ke dada Andarie, sahabat
terkasihnya, yang telah dianggapnya bagai kakak kandungnya sendiri. Untuknya,
ia lebih memilih tak memiliki Rangga, asal kesetiaannya terhadap wanita itu tak
terkoyakkan. Karena Andarie adalah manusia yang patut mendapat kesetiaan
darinya. Andarie yang selalu menolong dan setia mendampinginya bila tempaan
pahit mendera hidupnya. Karenanya ia bertahan teguh, menentang badai hati
Rangga. Bagai karang yang tak goyah terhempas badai. Walau sejatinya, sangat
rapuh.
Tapi,
seperti yang pepatah bilang: Suatu saat, Karang tegarpun akan luluh jua bila
terus diterpa ombak. Hal itulah yang dicemaskan Ciyantie. Karena ia merasakan
kerapuhan jiwa saat merindu Rangga. Entah sampai kapan karang teguh hasil
rekayasa hatinya akan terus bertahan menghadapi deburan ombak hati Rangga?
Mungkin suatu saat, akan luluh! Hanya menunggu waktu. Bila itu terjadi, maka
sebuah hati akan tercabik pedang tajam. Hati itu akan merintih perih. Berdarah.
Dan hati itu adalah hati Andarie. Tapi, anehnya jiwa Ciyantie sendiri yang
sudah tercabik saat membayangkan hal itu.
Dengan
lemas Ciyantie bangun dari pembaringannya. Melangkah pelan
ke arah jendela. Diintipnya cahaya rembulan yang remangnya menembus gardine
putih jendela kamarnya. Ciyantie menikmati sinar sendu itu dengan hati yang tak
menentu.
„Malam
ini, adalah malam terakhir aku memandangmu dari balik jendela kamar kost ini“,
desahnya pelan.
„Esok
aku akan pergi, tiada lagi diriku yang akan mengintipmu bagai malam ini“ desahnya
lagi dengan mata sendu menatap rembulan.
Ya! Malam ini adalah malam
terakhirnya di Jakarta. Esok pagi dengan penerbangan pertama, ia yang sudah
lima tahun sebatang kara di dunia ini akan meninggalkan Jakarta. Permohonan
yang sengaja ia ajukan sebulan lalu untuk dapat ditugaskan ke Australia, telah
diizinkan perusahaannya. Prestasi kerja Ciyantie memang memuaskan. Dan siang
tadi ia telah berpamit pada Andarie yang telah kembali pulang ke rumah. Andarie
yang tengah menyusui bayinya di ruang tamu menangis tersedu saat dia
mengucapkan kata-kata perpisahan.Sedang Rangga tengah bertugas ke luar kota.
“Begitu
mendadaknya kau pergi, kenapa?!” ujarnya dengan airmata berlinang. Kepedihan Andarie terasa kuat menyapu
helai hati Ciyantie.
“Ah, andai kau tahu mengapa...” jawab Ciyanti
lirih di hati, sambil tersenyum memandang wajah cantik Andarie.
“Tapi aku rela, asal kau
bahagia! Aku dan mas Rangga telah menganggapmu bagai adik kandung sendiri. Kami
akan selalu membantumu, andai kamu perlu pertolongan. Jangan lupa memberi kabar
seandainya kau tiba di Sidney, Okay?“ Ujar Andarie tulus.
Andarie yang lima tahun lebih tua darinya, adalah memang wanita yang tulus.
Dan ketulusan hatinya tak mungkin Ciyantie torehkan dengan sembilu pedang tajam.
“Ya, dewi penolongku tak boleh menderita! Apalagi
penderitaan itu berasal dari tanganku”, ujar gadis itu sendu di hati. Tiba-tiba kembali terbayang
semua jasa-jasa Andarie bertahun-tahun lalu. Dia yang selama ini selalu
menyayanginya.
Kembali terngiang ucapan Ciyantie kepada Andarie
lima tahun yang lalu, saat Andarie gadis kaya itu memaksanya untuk melanjutkan
kuliahnya yang dulu sempat terhenti,
“Baiklah, aku menuruti kehendakmu! Tapi aku
berjanji, aku pasti akan mengembalikan uangmu, bila aku telah bekerja.” Dan
kata-kata itu diiringi airmata Ciyantie. Kebahagiaan di hatinya tak dapat
terlukiskan pada saat itu, menyadari keberuntungannya mengenal Andarie. Rasa
bersyukur yang mendalam begitu hebat menerpa jiwanya. Ya, Ciyantie merasa
berhutang budi pada Andarie. Bagaimana tidak? Ia yang selalu senang belajar, kini bisa kembali kuliah. Padahal, ia tak mampu!
„Jangan
kamu pikirkan itu! Belajarlah yang benar! Dengan kecerdasanmu itu kau tentu
akan mendapat nilai yang terbaik, itulah bayar hutangmu untukku!“, jawab
Andarie kala itu tersenyum.
Tentu saja Ciyantie tahu, bahwa itu
dilakukan Andarie sebagai penebus dosa atas kesalahan Ayahnya lima tahun
silam. Sebuah kecelakaan tragis yang
telah menyebabkan Ciyantie kehilangan seluruh keluarganya, dalam kecelakaan
mobil yang disebabkan oleh kelalaian Ayah Andarie. Andarie pun kehilangan Ayah
tercinta dalam kecelakaan itu. Tapi ia kehilangan semua keluarganya. Dan
Andarie, anak semata wayang yang berlimpah warisan dari almarhum Ayahnya,
membantunya dalam menyelesaikan Kuliah. Sebuah Pendidikkan tinggi yang tak
mungkin terjangkau olehnya andai Andarie dengan sifat mulianya tak ada dalam hidupnya.
Ahhh, Ciyanti berdesah. Bias
rembulan semakin menawan seiring menit-menit yang berlalu. Ciyantie yang masih
mematung di pinggir jendela kamarnya memalingkan wajah, dan tak sengaja
pandangnya terbentur dua buah koper besar yang tegak berdiri dipojok kamar. Ciyantie
tertegun sejenak. Kedua koper itu seperti hendak berkata kepadanya: „Awal
kehidupan baru menantimu di Sidney!“ Mendadak senyum tersunting di bibir
Ciyantie. Ya! Sidney yang asing telah menanti. Kabut gelap di hatinya seketika
menipis. Ciyantie merasa telah memilih jalan yang tepat untuk dirinya, juga untuk
Andarie. Karena bila ia tetap berada di Jakarta, kota yang dicintainya,
kemungkinan besar karang hatinya akan terpupus bersamaan dengan hembusan
kata-kata cinta Rangga. Suatu saat rayuan Rangga akan merapuhkan benteng
kesetiaannya terhadap Andarie. Ia yakin akan hal itu. Karena, jauh di dasar
lautan hatinya ia begitu mencintai suami Andarie. Maka itulah pilihan yang terbaik
demi menghindari airmata yang akan mungkin banyak tertumpah. Ia, Ciyantie, akan
pergi meninggalkan jauh kedua cintanya. Tapi,
bukankah Cinta adalah juga pengorbanan? Ia rela berkorban demi kebahagiaan
sepasang Rangga dan Andarie. Demi Rangga cintanya. Juga demi
Andarie cintanya. Demi dua cinta dalam hidupnya. Sambil berharap pada cinta
baru, yang bukan sekeping noda. Menjadi burung yang dapat hinggap bebas tanpa mematahkan dahan hati orang.
*Ini cerpen pertamaku, yang bertahun lamanya hanya menetap di dalam laptop :-)))*
From Apri With Love
Tidak ada komentar:
Posting Komentar