Sabtu, 20 April 2013

FIKSI



Cinta Ciyantie
   By Apriyanti Larenta


Ciyantie, si gadis cantik berusia duapuluh lima tahun itu memejamkan mata di atas pembaringan. Rasa pedas menggigit kedua matanya, letih namun tak ingin terpejam. Gadis itu hanya mampu menggerakkan tubuh rampingnya ke kanan dan ke kiri. Kegelisahan menekan sanubarinya. Kerinduan mencekam merambati hatinya. Tapi apalah dayanya, jika kekasih yang dirindu adalah Rangga, suami Andarie sahabat karibnya. Andarie, sahabat sejati dalam suka duka hidupnya. Sosok yang telah dianggap bagai kakak kandungnya sendiri.Bayangkan!
      Ciyantie membenamkan kepala di balik selimut, seakan hendak membelai hatinya dengan kelembutan selimut yang menutupi tubuhnya. Ya! Hatinya yang terluka oleh rindu mendalam pada Rangga perlu belaian. Setidaknya, belaian lembut selembar selimut. Hatinya mendesah perih. Seketika pikirannya menyajikan wajah tampan Rangga. Sinar mata itu! Ah, betapa teduhnya. Taman hati Ciyantie yang penuh taburan wajah Rangga berdesir sendu. Kepak sayap hatinya terasa lemah. Ia bagai burung kecil yang tak berdaya.
       Ciyantie membalikkan kembali tubuhnya di atas pembaringan. Kembali resah. Sungguh, ia membenci sendiri dirinya yang lemah, yang  tak mampu mematikan  bunga cinta di dadanya. Malah sebaliknya, bunga terlarang itu kian  menemukan ladang subur di hatinya.  Sungguh tak pantas. Benar-benar bunga cinta pembawa petaka. Betapa tidak? Persahabatannya dengan Andari tentu saja
tak mengizinkan bunga terlarang itu bersemi subur di pelataran jiwanya. Ia sendiri mengutuki bunga hitam itu. Tapi cinta memang serat bunga yang tak dapat dilihat kemana jatuhnya. Ia terjatuh sesuka angin yang menghembusnya. Terkadang jatuh di ladang hati tak terduga. Jika itu terjadi, manusia takkan berdaya menentangnya. Juga Ciyantie. Namun ia hanya merahasiakan dan menahan cintanya. Sekuat jiwa hatinya. Selalu mencoba bersikap biasa terhadap sepasang suami istri itu. Seolah Cinta yang bersemi untuk Rangga  tak pernah ada di lumbung hatinya. Bertahun ia berhasil memendamnya. Kini?          
          Penyesalan meremuk hati Ciyantie mengingat adegan sebulan lalu itu. Disentakkannya selimut yang membalut tubuhnya hingga terjatuh ke lantai. Resah membuatnya tak peduli akan hal itu.
“Ahh, andai aku menolak ajakkan Rangga malam itu”, rintih hatinya dalam kebisuan malam. Mungkin kejadian itu takkan pernah terjadi.Ya Tuhan! Ciyantie mengigit bibir bawahnya. Lagi dan lagi muncul kebenciannya pada kejadian  itu…
         Malam itu usai kantor, Ciyantie tengah berdiri mematung di tepi jalan sepi menunggu taxi, saat sebuah sedan hitam menepi di hadapannya. Pintu depan mobil itu langsung terbuka diiringi dengan sembulan wajah akrab yang begitu dikenalnya. Rangga! Kala itu Ciyantie membelalakkan mata. Hatinya terlunjak. Rasa senangnya membuncah.
“Hallo, tie…!”, sapa Rangga.
“Hei…kamu!”, balas Ciyantie sambil menghampiri lelaki yang dikenalnya baik.
“Lagi nunggu taxi, tie?”, tanya Rangga. Dengan cepat gadis itu mengangguk.
“Mau aku anter, nggak?“
„Tentu dong, mau. Masak sih tolak rejeki nomplok ?”, sahut Ciyantie riang sambil kaki jenjangnya menaikki sedan hitam itu.  Lumayan, aku bisa hemat ongkos taxi, pikirnya malam itu tanpa prasangka.                                                                                                  
     Ya, Tuhan! Pekik hati Ciyantie masih diatas pembaringan. Lagi-lagi penyesalan menggapai hatinya, bila ia mengingat kembali peristiwa itu.  Menyesal mengapa ia mau menuruti ajakkan Rangga. Dan Andai ia menolak untuk makan dulu di restoran itu, dirinya takkan keluar dari mobil untuk kemudian tergelincir di jalan. Ya, Ciyantie dengan higheelsnya terpeleset, saat melangkah masuk ke sebuah restoran. Rangga yang berjalan di sampingnya meraih cepat tubuh olengnya yang hampir terjatuh. Refleks, lengan kukuh Rangga merengkuh pinggang ramping Ciyantie. Awalnya gadis itu merasa beruntung, dan berpikir, andai Rangga tak ada disampingnya, pasti ia akan terjerembab tanpa ampun dengan muka ke asphalt. Mungkin itu akan merusak kecantikan wajahnya. Jadi, Ciyantie berkicau lirih di hati“Lelaki itu telah menyelamatkanku…!”
       Dan malam itu dalam pelukkan sang penyelamat Ciyantie merasakan kehangatan indah mengaliri tubuhnya. Ciyantie juga dapat merasakan aliran hangat mengalir deras di dada Rangga. Ia terperanjat sesaat, saat menyadari betapa indahnya dalam pelukkan itu. Dan tampaknya Rangga pun tak ingin melepaskan Ciyantie. Ia terus memeluknya. Dan sialnya, Ciyantie tak ingin pula melepas pelukkan itu. Detik berlalu. Tatap mata Rangga yang berubah sendu memompa deburan hebat di jantungnya. Rangga kian mendekatkan wajahnya ke wajah Ciyantie. Perlahan. Tanpa kata. Rangga mencium Ciyantie. Gadis itu segera memejamkan mata, ingin menikmati sentuhan lembut bibir lelaki yang sebenarnya selalu dirindu. Namun wajah Andarie segera muncul dalam gelap pejam mata Ciyantie. Gadis itu langsung tersadar. Masya Allah! Ia telah khilaf! Ia telah menghianati kepercayaan Andarie. 
        Seakan tersadar dari impian buruk, Ciyantie segera menghempaskan rangkulan Rangga.  “Aku langsung pulang aja deh, mas Rangga. Sorry, aku lupa, kalo aku masih punya urusan kantor yang harus kuselesaikan di rumah.” Ucap Ciyantie halus tergagap sambil cepat melepaskan pelukkan Rangga. Tersipu Rangga melepaskan pelukkannya. Segera ia memalingkan wajah rona merahnya ke samping. Menatap kosong jalanan. Penyesalanpun, sepertinya terburat dari wajah tampan itu.
„Oke, aku antar kamu pulang…!“
      Setelah momen tak terduga itu, siksaan hati terus mencambuki dinding jiwa Ciyantie. Hari berlalu. Rasa aneh selalu menjalari jiwa raganya kalau berjumpa Andarie.
Wanita cantik yang  tidak mengetahui apa yang terjadi antara diri dan suaminya, tetap menyayanginya bagai adik kandung. Rasa salah pun kian terukir kuat di relung hati Ciyantie. Apalagi bila pandang matanya berlabuh di atas perut buncit Andarie yang tengah hamil tua. Dan Rangga? Bersikap seperti biasa. Seakan tak terjadi suatu apapun di antara mereka, hingga malam itu, seminggu yang lalu ia mengatakan cintanya.
“Benar Tie, sebetulnya aku telah lama memendam cinta kepadamu. Tapi aku tak pernah mau mengakuinya. Karena aku tahu, bahwa kamu sahabat baik Andarie. Dan aku tahu, bahwasanya kamu tidak akan mungkin mengecewakan istriku, sahabatmu yang bagai saudara kandungmu sendiri. Tapi perasaan ini sepertinya sering menyiksaku, Tie! Sering aku tak berdaya karenanya, bila aku merindukanmu…..” Pahit pilu suara Rangga.
       Saat mendengar kata-kata Rangga seminggu lalu itu, ingin rasanya Ciyantie memeluk erat Rangga. Sebab, demikian pula halnya dengan Ciyantie. Kala rindu akan Rangga menerpa dinding tipis hatinya, tangislah yang hanya mampu dilakukannya. Dan perasaan tak berdaya selalu melecut dinding hatinya. Namun ia tak mampu melakukannya. Merengkuh erat Rangga ke pelukannya? No Way! Malah Ciyantie merasakan risih yang begitu hebatnya, saat menatap sepasang mata Rangga yang mengharap cintanya. Ciyantie jadi terpaku. Kenyataan yang sebenarnya manis, namun pahit itu terasa tajam merejam hatinya. Karena tak diduga, Rangga pun dalam mencintainya. Ia tak pernah menduga, bahwa Rangga memiliki nuansa hati yang sama seperti hatinya. Nuansa merah mawar cinta yang tertancap kuat di dinding jiwa. Tapi...? Cinta yang hanya sekeping noda!
      Dan sejujurnya, bukanlah desir cinta yang membuat Ciyantie detik itu membisu, tapi bayang wajah Andarie yang tengah berbaring sakit sehabis melahirkan. Ciyantie benar-benar terus terpaku. Hanya bola matanya saja yang masih mampu menatap kerikil batu di halaman Rumah Sakit yang tengah merawat Andarie. Ia baru saja menjenguk Andarie. Dan dengan dalih ingin mengantar Ciyantie sampai ke pelataran parkir Rangga menggunakan kesempatan itu untuk menyatakan cintanya. Karena selama ini, sejak kejadian ciuman sekejap itu, Ciyantie selalu menghindari Rangga.
     Seminggu Andarie dirawat di Rumah Sakit, karena pendarahan yang dialaminya setelah persalinannya. Dan seminggu pula Rangga berusaha mendekati dirinya. Bahkan berkali-kali mengutarakan cintanya. Sementara Andarie begitu memercayainya sebagai seorang sahabat sejati.
       Tentu saja, Ciyantie ialah benar seorang sahabat sejati. Saat mengetahui gejolak riak hati Rangga terhadapnya, mudah saja ia merebut lelaki itu ke pelukannya. Namun, itu adalah khianat yang tak mungkin disembilukannya ke dada Andarie, sahabat terkasihnya, yang telah dianggapnya bagai kakak kandungnya sendiri. Untuknya, ia lebih memilih tak memiliki Rangga, asal kesetiaannya terhadap wanita itu tak terkoyakkan. Karena Andarie adalah manusia yang patut mendapat kesetiaan darinya. Andarie yang selalu menolong dan setia mendampinginya bila tempaan pahit mendera hidupnya. Karenanya ia bertahan teguh, menentang badai hati Rangga. Bagai karang yang tak goyah terhempas badai. Walau sejatinya, sangat rapuh.
           Tapi, seperti yang pepatah bilang: Suatu saat, Karang tegarpun akan luluh jua bila terus diterpa ombak. Hal itulah yang dicemaskan Ciyantie. Karena ia merasakan kerapuhan jiwa saat merindu Rangga. Entah sampai kapan karang teguh hasil rekayasa hatinya akan terus bertahan menghadapi deburan ombak hati Rangga? Mungkin suatu saat, akan luluh! Hanya menunggu waktu. Bila itu terjadi, maka sebuah hati akan tercabik pedang tajam. Hati itu akan merintih perih. Berdarah. Dan hati itu adalah hati Andarie. Tapi, anehnya jiwa Ciyantie sendiri yang sudah tercabik saat membayangkan hal itu.
     Dengan lemas Ciyantie bangun dari pembaringannya. Melangkah pelan ke arah jendela. Diintipnya cahaya rembulan yang remangnya menembus gardine putih jendela kamarnya. Ciyantie menikmati sinar sendu itu dengan hati yang tak menentu.
„Malam ini, adalah malam terakhir aku memandangmu dari balik jendela kamar kost ini“, desahnya pelan.
„Esok aku akan pergi, tiada lagi diriku yang akan mengintipmu bagai malam ini“ desahnya lagi dengan mata sendu menatap rembulan.
          Ya! Malam ini adalah malam terakhirnya di Jakarta. Esok pagi dengan penerbangan pertama, ia yang sudah lima tahun sebatang kara di dunia ini akan meninggalkan Jakarta. Permohonan yang sengaja ia ajukan sebulan lalu untuk dapat ditugaskan ke Australia, telah diizinkan perusahaannya. Prestasi kerja Ciyantie memang memuaskan. Dan siang tadi ia telah berpamit pada Andarie yang telah kembali pulang ke rumah. Andarie yang tengah menyusui bayinya di ruang tamu menangis tersedu saat dia mengucapkan kata-kata perpisahan.Sedang Rangga tengah bertugas ke luar kota.
“Begitu mendadaknya kau pergi, kenapa?!” ujarnya dengan airmata berlinang. Kepedihan Andarie terasa kuat menyapu helai hati Ciyantie.
“Ah, andai kau tahu mengapa...” jawab Ciyanti lirih di hati, sambil tersenyum memandang wajah cantik Andarie.
Tapi aku rela, asal kau bahagia! Aku dan mas Rangga telah menganggapmu bagai adik kandung sendiri. Kami akan selalu membantumu, andai kamu perlu pertolongan. Jangan lupa memberi kabar seandainya kau tiba di Sidney, Okay?“ Ujar Andarie tulus.
         Andarie yang lima tahun lebih tua darinya, adalah memang wanita yang tulus. Dan ketulusan hatinya tak mungkin Ciyantie torehkan dengan sembilu pedang tajam.
“Ya, dewi penolongku tak boleh menderita! Apalagi penderitaan itu berasal dari tanganku”, ujar gadis  itu sendu di hati. Tiba-tiba kembali terbayang semua jasa-jasa Andarie bertahun-tahun lalu. Dia yang selama ini selalu menyayanginya.
Kembali terngiang ucapan Ciyantie kepada Andarie lima tahun yang lalu, saat Andarie gadis kaya itu memaksanya untuk melanjutkan kuliahnya yang dulu sempat terhenti,
“Baiklah, aku menuruti kehendakmu! Tapi aku berjanji, aku pasti akan mengembalikan uangmu, bila aku telah bekerja.” Dan kata-kata itu diiringi airmata Ciyantie. Kebahagiaan di hatinya tak dapat terlukiskan pada saat itu, menyadari keberuntungannya mengenal Andarie. Rasa bersyukur yang mendalam begitu hebat menerpa jiwanya. Ya, Ciyantie merasa berhutang budi pada Andarie. Bagaimana tidak? Ia yang selalu senang belajar, kini bisa kembali kuliah. Padahal, ia tak mampu!
„Jangan kamu pikirkan itu! Belajarlah yang benar! Dengan kecerdasanmu itu kau tentu akan mendapat nilai yang terbaik, itulah bayar hutangmu untukku!“, jawab Andarie kala itu tersenyum.  
        Tentu saja Ciyantie tahu, bahwa itu dilakukan Andarie sebagai penebus dosa atas kesalahan Ayahnya lima tahun silam.  Sebuah kecelakaan tragis yang telah menyebabkan Ciyantie kehilangan seluruh keluarganya, dalam kecelakaan mobil yang disebabkan oleh kelalaian Ayah Andarie. Andarie pun kehilangan Ayah tercinta dalam kecelakaan itu. Tapi ia kehilangan semua keluarganya. Dan Andarie, anak semata wayang yang berlimpah warisan dari almarhum Ayahnya, membantunya dalam menyelesaikan Kuliah. Sebuah Pendidikkan tinggi yang tak mungkin terjangkau olehnya andai Andarie dengan sifat mulianya  tak ada dalam hidupnya.
           Ahhh, Ciyanti berdesah. Bias rembulan semakin menawan seiring menit-menit yang berlalu. Ciyantie yang masih mematung di pinggir jendela kamarnya memalingkan wajah, dan tak sengaja pandangnya terbentur dua buah koper besar yang tegak berdiri dipojok kamar. Ciyantie tertegun sejenak. Kedua koper itu seperti hendak berkata kepadanya: „Awal kehidupan baru menantimu di Sidney!“ Mendadak senyum tersunting di bibir Ciyantie. Ya! Sidney yang asing telah menanti. Kabut gelap di hatinya seketika menipis. Ciyantie merasa telah memilih jalan yang tepat untuk dirinya, juga untuk Andarie. Karena bila ia tetap berada di Jakarta, kota yang dicintainya, kemungkinan besar karang hatinya akan terpupus bersamaan dengan hembusan kata-kata cinta Rangga. Suatu saat rayuan Rangga akan merapuhkan benteng kesetiaannya terhadap Andarie. Ia yakin akan hal itu. Karena, jauh di dasar lautan hatinya ia begitu mencintai suami Andarie. Maka itulah pilihan yang terbaik demi menghindari airmata yang akan mungkin banyak tertumpah. Ia, Ciyantie, akan pergi meninggalkan jauh kedua cintanya. Tapi, bukankah Cinta adalah juga pengorbanan? Ia rela berkorban demi kebahagiaan sepasang Rangga dan Andarie. Demi Rangga cintanya. Juga  demi Andarie cintanya. Demi dua cinta dalam hidupnya. Sambil berharap pada cinta baru, yang bukan sekeping noda. Menjadi burung yang dapat hinggap bebas tanpa mematahkan dahan hati orang.
                                                
*Ini cerpen pertamaku, yang bertahun lamanya  hanya menetap di dalam laptop :-)))*

From Apri With Love
                                                                          


                                                                         
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar