Tuhan, Akan Kucoba!
Oleh Apriyanti Larenta
Berpikir positive. Itulah sikap hidup yang selalu dianut eyang putriku. Sikap yang ditularkannya padaku. Atau setidaknya, sejak kecil aku selalu mencoba untuk bersikap sama seperti eyang putri dalam hidup: Tabah dan tegar dalam menghadapi tantangan hidup. Dan, ia unik! Terutama bagaimana cara wanita yang telah melahirkan ibuku itu bersikap dalam menghadapi segala masalah, selalu membuat kami terperanjat. Sebab, apa pun yang menimpa kami, ia selalu berujar: „Jangan sedih! Seharusnya kita masih harus bersyukur.“ Ya! Itulah keajaiban Eyang Putriku. Selalu arif dan bijaksana, tanpa mau tersentuh sedikitpun oleh pemikiran negatif. Pendek kata, Eyang putri mengagumkan. Dan akulah penggemar terdepan sosok eyang putri. Ia adalah idolaku. Bagiku, Eyang Putri dengan garis-garis ketuaan yang merias wajahnya, lebih sexy dari JLO yang juga kupuja.Hihi.
Seperti yang telah terucap, Eyang Putriku tercinta adalah satu sosok unik. Karenanya, hanya sosok lelaki tegar, pintar dan unik pula yang cocok berdampingan dengannya. Untungnya, aku tak perlu repot mencarikan lelaki unik untuk Eyang Putri. Sebab Eyang Putri telah menemukan sendiri sosok tepat untuk dirinya, yakni Eyangku tercinta hehehe. Eyang, dalam banyak hal juga benar-benar unik seperti dirinya. Tahukah Anda? Eyang kerap berkata, bahwa harapannya adalah untuk suatu hari dapat meninggalkan dunia dalam tidurnya.
„Tertidur, untuk
tidak pernah bangun lagi! Bukankah itu cara indah meninggalkan dunia?“, ucapnya
sering kali! Dan sering kali kami cucu-cucunya hanya tertawa menimpali. Dan
setiap kali, aku cucu yang paling disayanginya menambahkan dengan kata-kata
ini,
„Saat kau meninggalkan dunia dan terbang ke angkasa, Eyang, aku ingin
menyaksikannya!“ Tentu itu adalah
komentar yang nakal dariku. Namun pastinya, aku hanya ingin bergurau dengan komentarku. Tapi, tahukah Anda? Setiap
kali aku merasakan, bahwa Eyang terkesan benar-benar ingin berpetualang ke langit biru untuk tidak pernah kembali
ke bumi saat tidurnya. Tetapi, bukankah menutup mata dalam jangka abadi adalah
rahasia alam yang penuh misteri? Dan mana mungkin manusia
dapat mendesain sendiri cara dirinya meninggalkan bumi? Tak ada segelintir
insan pun yang mampu melakukannya. Namun ternyata, diluar dugaan Eyangku
tercinta telah “lulus” melakukannya. Sungguh! Bersama dirinya, aku melihat
suatu petaka kehidupan dalam bentuk dimensi yang sangat berbeda
dari yang lazimnya kutemui. Bersama dirinya, aku menyaksikan bencana hidup
dalam dimensi keharmonisan.
Begitulah kenyataan dengan Eyangku. Sebuah kematian
normal tentunya terlihat beda. Apa yang Eyang persembahkan di dalam kamar tidurnya
lima belas tahun silam, adalah benar-benar cara menutup mata abadi berseni
tinggi. Ia meninggal dengan sebuah senyum manis terukir di bibir dengan wajah terlihat
begitu damai dan bahagia. Seolah tengah mendapati kunjungan dari kami,
cucu-cucunya dalam tidurnya. O ya, selama ini Eyang yang mencintai pelangi selalu
merasa seakan melayang ke langit berpelangi, setiap kali saat kami mengunjunginya. Padahal dalam tidurnya
saat itu, aku yakin, bukannya kami yang telah menjenguknya, tapi Tuhan Maha Pengasih
yang telah menjenguk dan menjemputnya untuk bertandang ke langit biru-Nya!
Pastinya Anda tahu, ada momen-momen
dalam hidup setiap insan yang tak terlupakan. Momen indah yang sangat berharga
dan unik. Detik kejadian dalam hidup yang dapat mengubah kehidupan manusia dalam
tempo kedipan mata. Juga ada momen hitam berbalut duka tajam dalam hidup. Yang
ketajamannya mampu mengebor tulang seorang manusia sampai dalam menembus jiwanya.
Tahukah Anda? Jika pemboran itu terlalu dalam, niscaya menghadirkan beban hati bagi pribadi yang mengalaminya. Dan beban hati terberat adalah,
jika seorang manusia tercinta penuh arti meninggalkan kita untuk selamanya.
Sebagai contoh, kematian Eyang bagi Eyang Putriku.
Duka cita yang mendalam. Begitulah asumsi umum manusia dalam
momen hitam serupa. Ajaibnya, anggapan klasik manusia ini – duka cita mendalam
karena kematian – tak berlaku bagi Eyang Putriku tercinta. Sungguh, ujung runcing tajam sembilu duka kepergian Eyang tak mampu menembus jiwanya.
Eyang Putriku yang unik, menakjubkan tabah dalam menghadapi tragedi hidupnya.
Dengan kekuatan jiwanya, wanita kokoh itu telah mampu menerima kepergian
mendadak Eyang dalam hidupnya dengan keringanan hati. Rasa sakit karena kehilangan Eyang,
tampak tak melukai jiwa Eyang Putriku. Karena di hadapan
kebesaran jiwanya, rasa sakit itu hanya bagai sosok kerdil hitam tanpa daya.
Menakjubkan! Hal itu membuat sosok Eyang Putriku sungguh tak ada duanya
di mataku. Ia bagai gaun elok berpredikat Haute
Couture: Hanya satu diciptakan, dan menjadi kebanggaan bagi si pemiliknya. Tapi,
Eyang Putri memang mahluk spesial hasil
karya agung ciptaan Tuhan! Paling tidak, bagiku!
Mendadak suatu kunjungan kenangan
cerita masa silam menarik anganku semakin jauh. Kenangan yang banyak berguna
oleh sebab moral tinggi mengagumkan seorang Eyang Putri dalam hidupku. „Karena
seni kehidupan adalah,“, begitulah Eyang Putri kerap berfilsafat, "bagaimana
kita manusia, dengan senyuman
menyembuhkan setiap luka di hati“
Ceritanya begini, sore itu aku
sangat lelah. Kantuk Benar-benar telah
menguasai sukmaku, setelah seharian penuh bermain bersama Eyang. Ternyata hari yang
indah dapat berakhir dalam bentuk cairan lelah yang membaluri badan. Aku hampir
terlena dalam tidur, saat terdengar
teriakkan tangisan mamaku yang begitu mencakar hati. Sungguh mengerikan,
bagaimana ibuku berteriak, menangis dan meraung.
„Apa yang terjadi?“,
tanyaku terkejut saat itu pada diriku sendiri. Dengan tergesa aku segera
bangkit dari pembaringan. Baru saja aku hendak melangkah ke lantai bawah
rumahku, saat Ayah tiba di pintu kamarku. Jelas dalam panik langkahnya ia
hendak membangunkan aku yang dikiranya telah tertidur.
„Prita, cepat kenakan
sandalmu! Kita akan pergi kerumah Eyang…!“, ujarnya setengah panik. Pandangan
mata Ayah begitu kelam mengerikan tersapu oleh pandang nanar mataku. Namun aku
yang masih bocah muda delapan tahun tak mampu menerka, apa yang tengah bergolak di samudra
hatinya. Yang kurasakan hanyalah arus bertegangan tinggi yang mendadak
menyelubungi kamar tidurku. Sungguh tak nyaman!
„Kenapa? Bukankah kita
telah seharian di rumah Eyang hari ini?“, tanyaku sedikit bingung. Ayah segera memegang
pundakku, dan memandangku dengan sinar mata yang begitu redup. Dengus nafasnya
terdengar terhenti sejenak, untuk kemudian berkata:
„Eyang telah
meninggal!“ Suara Ayah dibarengi
melankolie. Suatu kenyerian terbalut dalam nada suaranya yang bergetar di sela
bibirnya. Dengan jelas dapat kudengar kalimat aneh ayahku. Namun pastinya itu
bukanlah gurauan. Eyang meninggal? Oh Tuhan! Leherku seketika bagai tercekik,
melukai pita suaraku yang tertoreh kepedihan. Dan tiba-tiba aku tak mampu
berkata. Kurasakan sekujur tubuhku bergetar, melemaskan tulang kakiku yang
berdiri terpaku. Namun, tiba-tiba saja aku melompat, berlari kearah ayahku dan
menyembunyikan wajah mungilku yang sekejap berlinang airmata ke dalam dadanya. Tahukah
Anda? Itulah momen hitam dalam hidup yang kumaksud, detik duka yang membor
tulang sumsum seorang manusia sampai dalam menembus jiwanya. Dan saat itu adalah
momen kelabu dalam hidupku yang membor dan menyedot musnah seluruh sumsum di
tulang mudaku. Sungguh menyakitkan!
Dalam perjalanan menuju rumah duka, Ibu dan
kakakku menangis pilu di dalam mobil. Ayahku terdiam membisu,
mengemudi. Seperti Ayah, akupun terdiam membisu. Meringkuk di jok belakang di samping kakakku yang tersengguk pilu. Mataku kosong memandang keluar dari jendela mobil. Kala itu
senja telah mengganti siang. Ujung langit di atas kota Jakarta
begitu merahnya. Lebih merah dari warna pelangi yang tadi siang kulukis bersama
Eyang. Tapi sepasang mataku jelas-jelas jauh lebih merah
dibanding merahnya langit Jakarta
senja itu. Tampaknya, di senja itu segala
keindahan di dunia telah termusnahkan saat hatiku menangis. Sungguh, hatiku berdetak
nyeri tersumbat linangan air kepedihan. Sepanjang perjalanan aku kerap bertanya
pada diriku sendiri:
„Bagaimana
bisa, ia begitu cepat meninggalkan aku?“
Ya, bagaimana mungkin? Siang tadi ia
masih bersamaku, bukan? Pada dirinya tak kurang suatu apapun! Ia tampak begitu
bahagia. Wajahnya begitu bersinar karena kebahagiaan, setiap kali, saat aku
mengalahkannya dalam permainan halma tadi siang. Perasaanku mengatakan, bahwa kebahagiaan Eyang
justru sempurna, bila aku lah sang pemenang diantara kami berdua. Lebih, dari
pada apabila ia yang memenangkan
permainan itu. Lagipula humornya, membuat waktuku bersamanya benar-benar bagai
Oase kegembiraan. Dan, apa yang aku dan Eyang lakukan hari ini, akankah menjadi
pengalaman yang terakhir bersamanya dalam hidupku? Benar-benar kenyataan buruk
mengerikan. Lebih mengerikan dibanding apabila diriku sendiri yang meninggalkan
bumi.
Dua puluh menit berlalu, kami pun
sampai di tujuan. Rumah besar Kakek-nenekku telah disesaki penuh manusia.
Tetangga, keluarga, Tante dan paman-pamanku semua telah hadir di rumah duka
itu. Mereka segera membukakan jalan bagi kami, dan membiarkan kami sekeluarga
menuju kamar di mana Eyang berada.
„Eyang!“, jeritku pilu
tanpa suara. Airmata langsung jatuh bergulir di atas kedua pipiku, saat
pandangku terbentur sosok kaku tubuhnya.
Masih berjam yang lalu ia berjuang
untuk „mengalahkan“ aku dalam permainan halma, desahku pahit. Dan kini, ia terbujur
kaku tak bergerak. Tanpa jiwa lagi! Hanya sebuah senyum abadi merias wajahnya. Dalam
kasus klasik sejarah manusia ini, jutaan manusia tentunya dapat turut
membayangkan sembilu yang mengiris
hatiku kala itu. Sungguh! Hatiku tercabik badai duka. Namun anehnya, tak
peduli sakitnya hatiku, tapi saat pandang mataku berlabuh jatuh pada senyum
yang merias bibir Eyangku tercinta, entah mengapa aku jadi ikut tersenyum.
„Harapan Eyang telah terpenuhi! Selamat, eyang!“, bisikku pelan. Sedikit ironis
memang: Aku telah memberikan selamat kepada Eyang atas „penyiksaannya“ padaku!.
Tapi harus, bagaimanapun „egois“nya Eyangku. Namun seiring senyumku,
perasaanku makin terhempas dalam kekacauan. Apalagi saat kupandang Eyang Putri
yang tadi tergolek tanpa sadar di samping jenazah Eyang, mulai menampakkan
kesadaran. Maka perasaanku adalah bungkahan bom yang setiap saat dapat meledak.
Apa yang akan terjadi jika Eyang Putri kembali siuman? Rasa sakit bagaimana
yang akan menghantam hatinya? Adegan
apa yang akan dipersembahkan Eyang Putri kepada kami, bila ia sadar Eyang telah
tiada? Mungkinkah kali ini, sekali ini,
Eyang Putri akan ditinggalkan oleh keperkasaan hatinya? Kekuatan nurani yang selama ini tak pernah
mengkhianatinya. Mungkinkah ia akan menangis, meraung? Tentu! Bagaimanapun ia
kini tengah berdiri didepan keruntuhan hidupnya. Sebab, satu dari belahan penopang
jiwanya telah terenggut secara tiba-tiba. Namun, keterkejutan segera menerpa
mata semua yang memandangnya: Saat Eyang Putri telah benar-benar tersadar, ia
hanya membisu memandang jasad Eyang di hadapannya. Dengan lembut, ia membelai
kepala Eyang. Menakjubkan. Serentak kami semua hanya mampu menahan nafas.
Seolah tak percaya. Terutama aku! Aku sungguh tak percaya dengan apa yang
kulihat. Dengan reaksi ketabahan yang luar biasa seperti ini, terus terang,
kami tidak menyangkanya sama sekali. Dan keterkejutan kami pun mencapai
puncaknya, saat Eyang Putri pelan berkata,
„Apakah itu bukan suatu karunia
besar, bila harapan seorang manusia terkabul?“, sebentar Eyang Putri menghela
nafasnya, „Tanpa sakit dan derita, hanya dengan kedamaian kau meninggalkan
dunia ini. Aku turut bergembira untukmu, sebab harapanmu untuk meninggalkan
dunia dalam tidur telah terkabul!“ Kemudian dengan lembut dikecupnya kening
Eyang. Betul-betul suatu pemandangan menakjubkan!
Dan sungguh kata-kata yang
hebat. Memesona. Kebesaran sikap Eyang putri mencerminkan emosi terdalam
seorang manusia. Kata-katanya melambangkan cinta suci, dan terutama ketegaran
hati seorang manusia. Sungguh fenomenal. Adegan yang disodorkan Eyang Putri
kala itu, adalah adegan pilu paling ganjil, namun sekaligus sebuah penampilan
cemerlang dari seorang pejuang sejati kehidupan yang terhebat yang pernah kusaksikan
dalam hidup. Dengan kearifannya, Eyang Putri telah mampu mengaliri cahaya terang warna
pelangi dalam kabut gelap sebuah tragedi. Sungguh! Dengan sikap hebatnya, Eyang Putri adalah pelangiku. Aku
tulus percaya, dan takkan pernah kulupan ucapannya, bahwa "Seni hidup adalah dengan senyuman menyembuhkan semua luka dihati!“
Dan ia telah membuktikan kebesaran seni yang diyakininya.
Aku begitu bangga pada Eyang Putri saat
itu, bahkan sampai hari ini. Sebab di dirinya, bukan saja terlihat kepribadian
tangguh, melainkan juga seorang panutan. Idola jiwa. Dan ia adalah idolaku. Di banyak
hal. Dan tahukah Anda? Lama setelah kematian Eyang, sinar kebahagiaan tetap
selalu terpancar di wajah Eyang Putri setiap kali, saat ia menceritakan cara
Eyang pergi menghadap-Nya.
„Eyang bilang, ia sangat
mengantuk….“ Begitulah Eyang Putri selalu mengawali nostalginya. Tentunya aku
telah mengenal cerita kepergian Eyang dengan baik. Sebab Eyang putri selalu
mengulang cerita itu, lagi dan lagi! Oleh karena itu setiap kali Eyang Putri
memulai ceritanya, aku tak serius mendengarkannya lagi. Sebab seiring cerita Eyang Putri, kubiarkan anganku
melayang ke langit biru di mana Eyang kini berada. Dan entah mengapa aku pun sering
berangan, untuk suatu hari dapat meninggalkan bumi persis dengan cara Eyang. Seperti berikut.
Aku membayangkan,
„Sayang, aku sangat
letih. Maukah kau membuatkan secangkir kopi untukku?“, begitulah yang akan
kukatakan pada suamiku nanti. Di suatu hari,
saat usiaku telah memenuhi angka 60. Persis bagai kalimat yang dilontarkan
Eyang kepada Eyang putri di hari terakhirnya.
„Tentu! Akan kubuatkan secangkir kopi
untukmu!“, begitulah jawaban suamiku. Tepat bagai jawaban yang diberikan Eyang
putri kepada Eyang.
„Aku letih, dan aku akan berbaring di pembaringan.
Andai aku tertidur, letakkan saja kopi itu di meja malamku!“, begitu
selanjutnya yang akan kukatakan. Sama dengan kalimat terakhir yang diucapkan
Eyang kepada istrinya, Eyang Putriku. Tanpa emosi. Juga bukan ucapan
perpisahan. Bahkan, ia, Eyangku
tersenyum, cerita Eyang Putri. Jadi, sungguh adegan manis di ujung kehidupan. Bukan adegan
menyedihkan akhir dari satu perjalanan kehidupan panjang.
„Ya! Tentu!
Beristirahatlah! Akan kubuatkan segera kopi untukmu!“ Itulah jawaban terakhir
Eyang Putri kepada Eyangku dahulu. Manis. Tanpa prasangka. Tak menyadari,
itulah akhir pengabdian darinya untuk orang yang puluhan tahun dicintainya. Dan
jawaban itu pula yang akan mungkin terluncur
dari mulut suamiku nantinya.
Selanjutnya: Beberapa menit
kemudian aku segera tertidur. Saat suamiku kemudian datang dengan secangkir
kopi di tangannya untukku, aku telah terlelap. Menatapku yang tengah „tertidur“
suamiku akan berpikir; „Ah, dia sudah tertidur! Lihatlah, betapa manisnya ia
tersenyum dalam tidurnya! Ia pasti tengah bermimpi indah!“ Identik dengan apa
yang dipikirkan Eyang Putri saat itu, saat ia menangkap wajah tertidur Eyang.
Suamiku kemudian akan – sesuai permintaanku- meletakkan cangkir kopi itu di
atas meja di sisi pembaringan. Benar-benar seperti adegan yang dilakukan Eyang
Putri di senja kelabu itu. Tanpa kecurigaan sedikit pun. Bukankah Eyang hanya
tengah tertidur?
Namun, satu pertanyaan yang menentukan adalah: Sanggupkah
suamiku menerima kenyataan, andai tiga jam kemudian - saat ia hendak
membangunkan diriku dari tidur nyenyakku - menyadari, bahwa sebenarnya aku
telah meninggalkan dunia sejak tiga jam lalu? Akankah dia segera memanggil para
tetangga, untuk meyakinkan dirinya bahwa benar aku telah tiada? Persis seperti
yang Eyang putri lakukan? Akankah
suamiku akan jatuh pingsan, seperti Eyang Putri, andai tetangga berkata:
„Maafkan kami…., istri Anda bukan lagi tengah tertidur! Tapi ia memang telah
wafat!“ Kemudian, akankah ia kembali tersadar
dari pingsannya dengan sebuah senyuman di bibir, seperti yang Eyang putri dulu
lakukan, setelah ia sadar dari pingsannya?
Aku mendesah pilu. Sungguh aku tak tahu,
apakah mungkin suamiku akan setegar Eyang Putri dalam menghadapi kematianku nanti?
Dan bukankah manusia memang tak akan
pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hidup? Sering manusia berencana, namun
Tuhan jua yang menentukan. Dan mana kusangka, kalau kenyataannya sekarang bukan
aku yang meninggalkan dunia lebih awal dari suamiku, justru suamiku yang
meninggalkan aku. Ya, lima belas tahun
semenjak kepergian Eyang dan lima tahun semenjak kepergian Eyang putri, serta
tiga tahun setelah perkawinanku, suamiku lah yang justru meninggalkan diriku terlebih dulu. Tepatnya
tadi sore, dalam suatu kecelakaan mobil, dalam perjalanan pulang kantornya ke rumah.
Perlahan kubuka mataku.
„Lihat! Prita
telah tersadar dari pingsannya! Prita sudah sadar!“
Tiba-tiba kudengar teriakkan heboh orang-orang
di sekelilingku. Teriakan orang banyak yang memenuhi ruangan di rumah sakit ini
menyentakkan mata hatiku. Dan tangisan seorang anakku yang masih balita
mengembalikan anganku dari lamunan panjang kejadian masa lalu dalam ke taksadaranku.
Tahukah Anda? Dalam pandang mataku yang masih kabur kudapati diriku terbujur
setengah kaku di samping jenazah suamiku. „Kami turut berduka cita, Prita! Tabahkan hatimu…!” Ujar seseorang kepadaku. Tabah? Ah, sejak kecil aku
memang senang meniru sikap Eyang Putri, selalu berusaha tabah. Dan bukankah filsafat Eyang putri ini
begitu kukagumi? “Seni kehidupan adalah…”, entah mengapa hatiku tersenyum
mengingat kembali Eyang Putri, “dengan senyuman menyembuhkan segala luka
di hati!” Dan kini aku ingin setegar Eyang Putri dahulu dalam menghadapi kematian suami. Namun sanggupkah aku? Tanyaku lirih sambil
memandang jasad kaku suamiku tercinta. Tak sadar tanganku membelai lembut kepala suamiku dan mencium
keningnya. Tuhan, kuakan mencoba! Tapi, aah...wajah damainya menusuk hatiku. Sanggupkah aku hidup tanpanya? "Tuhan, akan kucoba!" Desah hatiku kelelahan. Begitu rapuh. Dalam sekejap kurasakan keruntuhannya.Tiba-tiba, semua kembali menjadi gelap...
Jakarta, 11 Juli 2007.
*Hehehe. Lagi-lagi ini cerpen karyaku yang bertahun-tahun lamanya hanya menetap di laptop.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar