Sabtu, 20 April 2013

FIKSI

       
    Tuhan, Akan Kucoba!       
 Oleh Apriyanti Larenta

Berpikir positive. Itulah sikap hidup yang selalu dianut eyang putriku. Sikap yang ditularkannya padaku. Atau setidaknya, sejak kecil aku selalu mencoba untuk bersikap sama seperti eyang putri dalam hidup: Tabah dan tegar dalam menghadapi tantangan hidup. Dan, ia unik! Terutama bagaimana cara wanita yang telah melahirkan ibuku itu bersikap dalam menghadapi segala masalah, selalu membuat kami terperanjat. Sebab, apa pun yang menimpa kami, ia selalu berujar: „Jangan sedih! Seharusnya kita masih harus bersyukur.“ Ya! Itulah keajaiban Eyang Putriku. Selalu arif dan bijaksana, tanpa mau tersentuh sedikitpun oleh pemikiran negatif.  Pendek kata, Eyang putri mengagumkan. Dan akulah penggemar terdepan sosok eyang putri. Ia adalah idolaku. Bagiku, Eyang  Putri dengan garis-garis ketuaan yang merias wajahnya, lebih sexy dari JLO  yang juga kupuja.Hihi.


      Seperti yang telah terucap, Eyang Putriku tercinta adalah satu sosok unik. Karenanya, hanya sosok lelaki tegar, pintar dan unik pula yang cocok berdampingan dengannya. Untungnya, aku tak perlu repot mencarikan lelaki unik untuk Eyang Putri. Sebab Eyang Putri telah menemukan sendiri sosok tepat untuk dirinya, yakni Eyangku tercinta hehehe. Eyang, dalam banyak hal juga benar-benar unik seperti dirinya. Tahukah Anda?  Eyang kerap berkata, bahwa harapannya adalah untuk suatu hari dapat meninggalkan dunia dalam tidurnya. 
„Tertidur, untuk tidak pernah bangun lagi! Bukankah itu cara indah meninggalkan dunia?“, ucapnya sering kali! Dan sering kali kami cucu-cucunya hanya tertawa menimpali. Dan setiap kali, aku cucu yang paling disayanginya menambahkan dengan kata-kata ini,
„Saat kau meninggalkan dunia dan terbang ke angkasa, Eyang, aku ingin menyaksikannya!“  Tentu itu adalah komentar yang nakal dariku. Namun pastinya, aku hanya ingin bergurau  dengan komentarku.  Tapi, tahukah Anda? Setiap kali aku merasakan, bahwa Eyang terkesan benar-benar ingin berpetualang  ke langit biru untuk tidak pernah kembali ke bumi saat tidurnya. Tetapi, bukankah menutup mata dalam jangka abadi adalah rahasia alam yang penuh misteri? Dan mana mungkin manusia dapat mendesain sendiri cara dirinya meninggalkan bumi? Tak ada segelintir insan pun yang mampu melakukannya. Namun ternyata, diluar dugaan Eyangku tercinta telah “lulus” melakukannya. Sungguh! Bersama dirinya, aku melihat suatu petaka kehidupan dalam bentuk dimensi yang sangat berbeda dari yang lazimnya kutemui. Bersama dirinya, aku menyaksikan bencana hidup dalam dimensi keharmonisan.
       Begitulah kenyataan dengan Eyangku. Sebuah kematian normal tentunya terlihat beda. Apa yang Eyang persembahkan di dalam kamar tidurnya lima belas tahun silam, adalah benar-benar cara menutup mata abadi berseni tinggi. Ia meninggal dengan sebuah senyum manis terukir di bibir dengan wajah terlihat begitu damai dan bahagia. Seolah tengah mendapati kunjungan dari kami, cucu-cucunya dalam tidurnya. O ya, selama ini Eyang yang mencintai pelangi selalu merasa seakan melayang ke langit berpelangi, setiap kali saat  kami mengunjunginya. Padahal dalam tidurnya saat itu, aku yakin, bukannya kami yang telah menjenguknya, tapi Tuhan Maha Pengasih yang telah menjenguk dan menjemputnya untuk bertandang ke langit biru-Nya!
       Pastinya Anda tahu, ada momen-momen dalam hidup setiap insan yang tak terlupakan. Momen indah yang sangat berharga dan unik. Detik kejadian dalam hidup yang dapat mengubah kehidupan manusia dalam tempo kedipan mata. Juga ada momen hitam berbalut duka tajam dalam hidup. Yang ketajamannya  mampu mengebor tulang  seorang manusia sampai dalam menembus jiwanya. Tahukah Anda? Jika pemboran itu terlalu dalam, niscaya menghadirkan beban hati bagi pribadi yang mengalaminya. Dan beban hati terberat adalah, jika seorang manusia tercinta penuh arti meninggalkan kita untuk selamanya. Sebagai contoh, kematian Eyang bagi Eyang Putriku. 
      Duka cita yang mendalam. Begitulah  asumsi umum manusia dalam momen hitam serupa. Ajaibnya, anggapan klasik manusia ini – duka cita mendalam karena kematian – tak berlaku bagi Eyang Putriku tercinta. Sungguh,  ujung runcing tajam sembilu duka  kepergian Eyang tak mampu menembus jiwanya. Eyang Putriku yang unik, menakjubkan tabah dalam menghadapi tragedi hidupnya. Dengan kekuatan jiwanya, wanita kokoh itu telah mampu menerima kepergian mendadak Eyang dalam hidupnya dengan keringanan hati.  Rasa sakit karena kehilangan Eyang, tampak  tak  melukai jiwa Eyang Putriku. Karena di hadapan kebesaran jiwanya, rasa sakit itu hanya bagai sosok kerdil hitam tanpa daya. Menakjubkan! Hal itu membuat sosok Eyang Putriku sungguh tak ada duanya di mataku. Ia bagai gaun elok berpredikat Haute Couture: Hanya satu diciptakan, dan menjadi kebanggaan bagi si pemiliknya. Tapi, Eyang Putri memang mahluk spesial  hasil karya agung ciptaan Tuhan! Paling tidak, bagiku! 
     Mendadak suatu kunjungan kenangan cerita masa silam menarik anganku semakin jauh. Kenangan yang banyak berguna oleh sebab moral tinggi mengagumkan seorang Eyang Putri dalam hidupku. „Karena seni kehidupan adalah,“, begitulah Eyang Putri kerap berfilsafat, "bagaimana kita manusia, dengan  senyuman menyembuhkan setiap luka di hati“
        Ceritanya begini, sore itu aku sangat lelah.  Kantuk Benar-benar telah menguasai sukmaku, setelah seharian penuh bermain bersama Eyang. Ternyata hari yang indah dapat berakhir dalam bentuk cairan lelah yang membaluri badan. Aku hampir terlena dalam tidur, saat terdengar  teriakkan tangisan mamaku yang begitu mencakar hati. Sungguh mengerikan, bagaimana ibuku berteriak, menangis dan meraung.
„Apa yang terjadi?“, tanyaku terkejut saat itu pada diriku sendiri. Dengan tergesa aku segera bangkit dari pembaringan. Baru saja aku hendak melangkah ke lantai bawah rumahku, saat Ayah tiba di pintu kamarku. Jelas dalam panik langkahnya ia hendak membangunkan aku yang dikiranya telah tertidur. 
„Prita, cepat kenakan sandalmu! Kita akan pergi kerumah Eyang…!“, ujarnya setengah panik. Pandangan mata Ayah begitu kelam mengerikan tersapu oleh pandang nanar mataku.  Namun aku
yang masih bocah muda delapan tahun tak mampu menerka, apa yang tengah bergolak di samudra hatinya. Yang kurasakan hanyalah arus bertegangan tinggi yang mendadak menyelubungi kamar tidurku. Sungguh tak nyaman!
„Kenapa? Bukankah kita telah seharian di rumah Eyang hari ini?“, tanyaku  sedikit bingung. Ayah segera memegang pundakku, dan memandangku dengan sinar mata yang begitu redup. Dengus nafasnya terdengar terhenti sejenak, untuk kemudian berkata:
„Eyang telah meninggal!“  Suara Ayah dibarengi melankolie. Suatu kenyerian terbalut dalam nada suaranya yang bergetar di sela bibirnya. Dengan jelas dapat kudengar kalimat aneh ayahku. Namun pastinya itu bukanlah gurauan. Eyang meninggal? Oh Tuhan! Leherku seketika bagai tercekik, melukai pita suaraku yang tertoreh kepedihan. Dan tiba-tiba aku tak mampu berkata. Kurasakan sekujur tubuhku bergetar, melemaskan tulang kakiku yang berdiri terpaku. Namun, tiba-tiba saja aku melompat, berlari kearah ayahku dan menyembunyikan wajah mungilku yang sekejap berlinang airmata ke dalam dadanya. Tahukah Anda? Itulah momen hitam dalam hidup yang kumaksud, detik duka yang membor tulang sumsum seorang manusia sampai dalam menembus jiwanya. Dan saat itu adalah momen kelabu dalam hidupku yang membor dan menyedot musnah seluruh sumsum di tulang mudaku. Sungguh menyakitkan!
      Dalam perjalanan menuju rumah duka, Ibu dan kakakku menangis pilu di dalam mobil. Ayahku terdiam membisu, mengemudi. Seperti Ayah, akupun terdiam membisu. Meringkuk di jok belakang di samping kakakku yang tersengguk pilu. Mataku kosong memandang keluar dari jendela mobil. Kala itu senja telah mengganti siang. Ujung langit di atas kota Jakarta begitu merahnya. Lebih merah dari warna pelangi yang tadi siang kulukis bersama Eyang. Tapi sepasang mataku jelas-jelas jauh lebih merah dibanding merahnya langit Jakarta senja itu.  Tampaknya, di senja itu segala keindahan di dunia telah termusnahkan saat hatiku menangis. Sungguh, hatiku berdetak nyeri tersumbat linangan air kepedihan. Sepanjang perjalanan aku kerap bertanya pada diriku sendiri:
„Bagaimana bisa, ia begitu cepat meninggalkan aku?“ 
        Ya, bagaimana mungkin? Siang tadi ia masih bersamaku, bukan? Pada dirinya tak kurang suatu apapun! Ia tampak begitu bahagia. Wajahnya begitu bersinar karena kebahagiaan, setiap kali, saat aku mengalahkannya dalam permainan halma tadi siang.  Perasaanku mengatakan, bahwa kebahagiaan Eyang justru sempurna, bila aku lah sang pemenang diantara kami berdua. Lebih, dari pada  apabila ia yang memenangkan permainan itu. Lagipula humornya, membuat waktuku bersamanya benar-benar bagai Oase kegembiraan. Dan, apa yang aku dan Eyang lakukan hari ini, akankah menjadi pengalaman yang terakhir bersamanya dalam hidupku? Benar-benar kenyataan buruk mengerikan. Lebih mengerikan dibanding apabila diriku sendiri yang meninggalkan bumi.
       Dua puluh menit berlalu, kami pun sampai di tujuan. Rumah besar Kakek-nenekku telah disesaki penuh manusia. Tetangga, keluarga, Tante dan paman-pamanku semua telah hadir di rumah duka itu. Mereka segera membukakan jalan bagi kami, dan membiarkan kami sekeluarga menuju kamar di mana Eyang berada.
„Eyang!“, jeritku pilu tanpa suara. Airmata langsung jatuh bergulir di atas kedua pipiku, saat pandangku terbentur sosok kaku tubuhnya.
       Masih berjam yang lalu ia berjuang untuk „mengalahkan“ aku dalam permainan halma, desahku pahit. Dan kini, ia terbujur kaku tak bergerak. Tanpa jiwa lagi! Hanya sebuah senyum abadi merias wajahnya. Dalam kasus klasik sejarah manusia ini, jutaan manusia tentunya dapat turut membayangkan sembilu yang mengiris  hatiku kala itu. Sungguh! Hatiku tercabik badai duka. Namun anehnya, tak peduli sakitnya hatiku, tapi saat pandang mataku berlabuh jatuh pada senyum yang merias bibir Eyangku tercinta, entah mengapa aku jadi ikut tersenyum. „Harapan Eyang telah terpenuhi! Selamat, eyang!“, bisikku pelan. Sedikit ironis memang: Aku telah memberikan selamat kepada Eyang atas „penyiksaannya“ padaku!. Tapi harus, bagaimanapun „egois“nya Eyangku. Namun seiring senyumku, perasaanku makin terhempas dalam kekacauan. Apalagi saat kupandang Eyang Putri yang tadi tergolek tanpa sadar di samping jenazah Eyang, mulai menampakkan kesadaran. Maka perasaanku adalah bungkahan bom yang setiap saat dapat meledak.
      Apa yang akan terjadi jika Eyang Putri kembali siuman? Rasa sakit bagaimana yang akan menghantam hatinya?   Adegan apa yang akan dipersembahkan Eyang Putri kepada kami, bila ia sadar Eyang telah tiada?  Mungkinkah kali ini, sekali ini, Eyang Putri akan ditinggalkan oleh keperkasaan hatinya?  Kekuatan nurani yang selama ini tak pernah mengkhianatinya. Mungkinkah ia akan menangis, meraung? Tentu! Bagaimanapun ia kini tengah berdiri didepan keruntuhan hidupnya. Sebab, satu dari belahan penopang jiwanya telah terenggut secara tiba-tiba. Namun, keterkejutan segera menerpa mata semua yang memandangnya: Saat Eyang Putri telah benar-benar tersadar, ia hanya membisu memandang jasad Eyang di hadapannya. Dengan lembut, ia membelai kepala Eyang. Menakjubkan. Serentak kami semua hanya mampu menahan nafas. Seolah tak percaya. Terutama aku! Aku sungguh tak percaya dengan apa yang kulihat. Dengan reaksi ketabahan yang luar biasa seperti ini, terus terang, kami tidak menyangkanya sama sekali. Dan keterkejutan kami pun mencapai puncaknya, saat Eyang Putri pelan berkata,
 „Apakah itu bukan suatu karunia besar, bila harapan seorang manusia terkabul?“, sebentar Eyang Putri menghela nafasnya, „Tanpa sakit dan derita, hanya dengan kedamaian kau meninggalkan dunia ini. Aku turut bergembira untukmu, sebab harapanmu untuk meninggalkan dunia dalam tidur telah terkabul!“ Kemudian dengan lembut dikecupnya kening Eyang. Betul-betul suatu pemandangan menakjubkan! 
Dan sungguh kata-kata yang hebat. Memesona. Kebesaran sikap Eyang putri mencerminkan emosi terdalam seorang manusia. Kata-katanya melambangkan cinta suci, dan terutama ketegaran hati seorang manusia. Sungguh fenomenal. Adegan yang disodorkan Eyang Putri kala itu, adalah adegan pilu paling ganjil, namun sekaligus sebuah penampilan cemerlang dari seorang pejuang sejati kehidupan yang terhebat yang pernah kusaksikan dalam hidup. Dengan kearifannya, Eyang Putri telah mampu mengaliri cahaya terang warna pelangi dalam kabut gelap sebuah tragedi. Sungguh! Dengan sikap hebatnya, Eyang Putri adalah pelangiku. Aku tulus percaya, dan takkan pernah kulupan ucapannya, bahwa "Seni hidup adalah dengan senyuman menyembuhkan semua luka dihati!“ Dan ia telah membuktikan kebesaran seni yang diyakininya.
        Aku begitu bangga pada Eyang Putri saat itu, bahkan sampai hari ini. Sebab di dirinya, bukan saja terlihat kepribadian tangguh, melainkan juga seorang panutan. Idola jiwa. Dan ia adalah idolaku. Di banyak hal. Dan tahukah Anda? Lama setelah kematian Eyang, sinar kebahagiaan tetap selalu terpancar di wajah Eyang Putri setiap kali, saat ia menceritakan cara Eyang pergi menghadap-Nya.
„Eyang bilang, ia sangat mengantuk….“ Begitulah Eyang Putri selalu mengawali nostalginya. Tentunya aku telah mengenal cerita kepergian Eyang dengan baik. Sebab Eyang putri selalu mengulang cerita itu, lagi dan lagi! Oleh karena itu setiap kali Eyang Putri memulai ceritanya, aku tak serius mendengarkannya lagi. Sebab  seiring cerita Eyang Putri, kubiarkan anganku melayang ke langit biru di mana Eyang kini berada. Dan entah mengapa aku pun sering berangan, untuk suatu hari dapat meninggalkan bumi persis dengan cara Eyang. Seperti berikut.
         Aku membayangkan, 
 „Sayang, aku sangat letih. Maukah kau membuatkan secangkir kopi untukku?“, begitulah yang akan kukatakan pada suamiku nanti. Di suatu  hari, saat usiaku telah memenuhi angka 60. Persis bagai kalimat yang dilontarkan Eyang kepada Eyang putri di hari terakhirnya.
 „Tentu! Akan kubuatkan secangkir kopi untukmu!“, begitulah jawaban suamiku. Tepat bagai jawaban yang diberikan Eyang putri kepada Eyang.
 „Aku letih, dan aku akan berbaring di pembaringan. Andai aku tertidur, letakkan saja kopi itu di meja malamku!“, begitu selanjutnya yang akan kukatakan. Sama dengan kalimat terakhir yang diucapkan Eyang kepada istrinya, Eyang Putriku. Tanpa emosi. Juga bukan ucapan perpisahan. Bahkan, ia, Eyangku  tersenyum, cerita Eyang Putri. Jadi, sungguh adegan manis di ujung kehidupan. Bukan adegan menyedihkan akhir dari satu perjalanan kehidupan panjang. 
„Ya! Tentu! Beristirahatlah! Akan kubuatkan segera kopi untukmu!“ Itulah jawaban terakhir Eyang Putri kepada Eyangku dahulu. Manis. Tanpa prasangka. Tak menyadari, itulah akhir pengabdian darinya untuk orang yang puluhan tahun dicintainya. Dan jawaban itu pula yang akan mungkin terluncur dari mulut suamiku nantinya.
      Selanjutnya: Beberapa menit kemudian aku segera tertidur. Saat suamiku kemudian datang dengan secangkir kopi di tangannya untukku, aku telah terlelap. Menatapku yang tengah „tertidur“ suamiku akan berpikir; „Ah, dia sudah tertidur! Lihatlah, betapa manisnya ia tersenyum dalam tidurnya! Ia pasti tengah bermimpi indah!“ Identik dengan apa yang dipikirkan Eyang Putri saat itu, saat ia menangkap wajah tertidur Eyang. Suamiku kemudian akan – sesuai permintaanku- meletakkan cangkir kopi itu di atas meja di sisi pembaringan. Benar-benar seperti adegan yang dilakukan Eyang Putri di senja kelabu itu. Tanpa kecurigaan sedikit pun. Bukankah Eyang hanya tengah tertidur? 
         Namun, satu pertanyaan yang menentukan adalah: Sanggupkah suamiku menerima kenyataan, andai tiga jam kemudian - saat ia hendak membangunkan diriku dari tidur nyenyakku - menyadari, bahwa sebenarnya aku telah meninggalkan dunia sejak tiga jam lalu? Akankah dia segera memanggil para tetangga, untuk meyakinkan dirinya bahwa benar aku telah tiada? Persis seperti yang Eyang putri lakukan?  Akankah suamiku akan jatuh pingsan, seperti Eyang Putri, andai tetangga berkata: „Maafkan kami…., istri Anda bukan lagi tengah tertidur! Tapi ia memang telah wafat!“  Kemudian, akankah ia kembali tersadar dari pingsannya dengan sebuah senyuman di bibir, seperti yang Eyang putri dulu lakukan, setelah ia sadar dari pingsannya?
         Aku mendesah pilu. Sungguh aku tak tahu, apakah mungkin suamiku akan setegar Eyang Putri dalam menghadapi kematianku nanti?  Dan bukankah manusia memang tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hidup? Sering manusia berencana, namun Tuhan jua yang menentukan. Dan mana kusangka, kalau kenyataannya sekarang bukan aku yang meninggalkan dunia lebih awal dari suamiku, justru suamiku yang meninggalkan aku. Ya,  lima belas tahun semenjak kepergian Eyang dan lima tahun semenjak kepergian Eyang putri, serta tiga tahun setelah perkawinanku, suamiku lah yang  justru meninggalkan diriku terlebih dulu. Tepatnya tadi sore, dalam suatu kecelakaan mobil, dalam perjalanan pulang kantornya ke rumah.  Perlahan kubuka mataku.
„Lihat! Prita telah tersadar dari pingsannya! Prita sudah sadar!“ 
Tiba-tiba kudengar teriakkan heboh orang-orang di sekelilingku. Teriakan orang banyak yang memenuhi ruangan di rumah sakit ini menyentakkan mata hatiku. Dan tangisan seorang anakku yang masih balita mengembalikan anganku dari lamunan panjang kejadian masa lalu dalam ke taksadaranku. Tahukah Anda? Dalam pandang mataku yang masih kabur kudapati diriku terbujur setengah kaku di samping jenazah suamiku. „Kami turut berduka cita, Prita! Tabahkan hatimu…!” Ujar seseorang kepadaku. Tabah? Ah, sejak kecil aku memang senang meniru sikap Eyang Putri, selalu berusaha tabah. Dan bukankah filsafat Eyang putri ini begitu kukagumi? “Seni kehidupan adalah…”, entah mengapa hatiku tersenyum mengingat kembali Eyang Putri, “dengan senyuman menyembuhkan segala luka di hati!” Dan kini aku ingin setegar  Eyang Putri dahulu dalam menghadapi kematian suami.  Namun sanggupkah aku? Tanyaku lirih sambil memandang jasad kaku suamiku tercinta. Tak sadar tanganku membelai lembut kepala suamiku dan mencium keningnya. Tuhan, kuakan mencoba! Tapi, aah...wajah damainya menusuk hatiku. Sanggupkah aku hidup tanpanya? "Tuhan, akan kucoba!" Desah hatiku kelelahan. Begitu rapuh. Dalam sekejap kurasakan keruntuhannya.Tiba-tiba, semua kembali menjadi gelap...

Jakarta, 11 Juli 2007. 

*Hehehe. Lagi-lagi ini cerpen karyaku yang bertahun-tahun lamanya hanya menetap di laptop.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar